Home » » “Masih Perlukah Etika Ekonomi Di Era Globalisasi???”

“Masih Perlukah Etika Ekonomi Di Era Globalisasi???”

Written By Unknown on Sabtu, 02 Mei 2015 | 02.16

“ Yang kaya makin kaya,
.Yang miskin makin miskin….”.
Eko Raharto-Jemasih
Sepenggal lirik lagu Rhoma Irama di atas bukanlah isapan jempol belaka, karena semua orang tahu bahwa kemiskinan dan kepincangan keadilan ekonomi di Indonesia semakin terasa baik oleh masyarakat kota maupun pedesaan yang konon katanya negara Indonesia adalah tanah surga, tapi itu seakan-akan hanya ilusi semata di mana kekayaan yang melimpah tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya..sungguh aneh tapi nyata.


Nilai-nilai luhur yang telah tertanam dalam kehidupan masyarakat negeri ini sejak neneng moyang seperti “ gotong royong “ kian hari kian hilang tanpa jejak. Gotong royong menjadi hal yang asing bagi pemiliknya sebagaimana dipaparkan dalam buku Benturan Antar Peradaban karya Samuel  P. Hutington “ Nilai-nilai luhur  budaya mayarakat Asia timur, seperti mengutamakan kepentingan bersama (kelompok) di atas kepentingan individual, mendorong kearah usaha bersama dalam mempercepat kemajuan”. 

Sedangkan etika dalam kehidupan bermasyarakat mengajarkan bahwa kolektifitas dan kepentingan bersama harus dikedepankan dibanding kepentingan individu. Menurut Spancer dalam bukunya The Man Versus The State, mengatakan “ tujuan individu bermasyarakat dan bernegara untuk kepentingan manusia tersebut, kerjasama dengan orang lain dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan individu karena setiap individu tidak sempurna”.

Etika ekonomi mengajarkan arti pentingnya kesejahteraan ekonomi  yang harus dinikmati oleh semua orang. Namun seiring  dengan kencangnya laju globalisasi dan terus berkembangnya sistem ekonomi Liberal (khususnya kapitalis), etika ekonomi hampir tidak lagi berlaku kecuali di negara penganut sistem ekonomi sosialis komunis seperti Kuba, dan Venezuela.

Menanti Kebijakan Ekonomi Jokowi-JK Pro-Rakyat

Kebijakan-kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia cenderung mendua yakni antara kebijakan Pro-Rakyat dan Pro-Kapitalis. Sampai hari ini pun pemerintah tidak berani bersikap tegas  apakah negara kita menganut sistem ekonomi Kapitalis, Liberal, Sosialis, Islam atau Neoliberal.

Meskipun dalam beberapa bulan pemerintahan Jokowi-JK banyak terjadi polemik ekonomi, hukum, politik, dan social budaya. Seperti kebijakan penetapan harga BBM yang disesuaikan dengan harga minyak dunia, dan pencabutan subsidi dengan alasan meghindari subsidi salah sasaran. Tetapi ada kebijakan yang pro-rakyat seperti penenggelaman kapal pencuri ikan asing untuk membuat efek jera bagi pelaku illegal fishing.

Dalam masa kepemimpinan Jokowi-JK diharapkan banyak kebijakan pro-rakyat dan terjalin hubungan ekonomi antar negara yang saling menguntungkan. Tetapi  jika kita lihat hubungan antara etika ekonomi dengan sistem ekonomi Indonesia  hari ini dan sistem ekonomi Indonesia yang dulu, tentu sudah terjadi pergeseran yang sangat jauh. Di mana bapak bangsa Ekonomi Indonesia, Mohammad Hatta sangat jeli melihat permasalahan yang dihadapi bangsa  Indonesia dalam hal ekonomi sehingga beliau menggagas koperasi, yang sangat relevan dengan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “ Perekonomian disusun dengan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, yang kemudian diperkuat  oleh pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Kita harus bertanya kepada pemerintah, kenapa sistem ekonomi yang pro rakyat seperti koperasi tidak menjadi sistem ekonomi Indonesia hari ini, dan pemerintah lebih bangga dengan menganut  sistem ekonomi liberal yang berakibat pada kebijakan pemerintah yang Pro-Kapitalis. Pemerintah sering memperlihatkan ketidakberpihakan terhadap masyarakat kecil, di antaranya program mobil murah yang menunjukan kebijakan pemerintah bermuka dua antara alasan sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat namun di satu sisi menguntungkan para kapitalis, dan yang membuat terperangah baru-baru ini adalah ketidaktahuan Presiden Jokowi saat menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemberian tambahan  DP mobil dinas pejabat.

Sedangkan  hal yang paling menonjol dari kebijakan pemerintah yang perlu kita kritisi yaitu perihal BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), di mana masyarakat Indonesia wajib membayar premi setiap bulannya dan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai besarnya premi yang dibayar oleh masyarakat, tentunya yang kaya mendapatkan fasilitas bagus karena besarnya premi yang dibayar dan sebaliknya untuk rakyat miskin siap-siap mendapatkan pelayanan kelas tiga. Jika kita hitung secara matematika, misalkan dalam keluarga miskin terdapat 6 jiwa (Bapak-Ibu, 4 anak), jika kelurga tersebut mengambil kelas tiga, maka premi yang harus dibayar tiap bulan adalah 6 kali Rp 25.500,-  sama dengan Rp 153.000,-per bulan. Sedangkan kategori kelurga miskin adalah keluarga berpenghasilan di bawah Rp 600.000,-. Per bulan. Bagaimana dengan kemampuan meraka untuk membayar dengan penghasilan rendah?. Jika kita teliti lebih mendalam, BPJS menunjukan bahwa sebenarnya pemerintah lepas tanggung jawab terhadap jaminan sosial rakyatnya (UUD 1945 Pasal 28H ayat 4).

Tantangaan Etika Ekonomi

Etika ekonomi sangat diperlukan dalam melakukan hubungan ekonomi global demi terciptanya situasi saling menguntungkan terutama hubungan ekonomi antar negara yang saling melindungi kepentingan bangsanya masing-masing. Di mana kita mengetahui India sangat ngotot membela kepentingan rakyatnya dalam hal ketahanan pangan di Konferensi Menteri Perdagangan tingkat dunia di Bali (WTO), karena India tahu bahwa WTO hanya dijadikan alat negara maju untuk mengeruk keuntungan dari negara miskin dan berkembang (termasuk Indonesia). Lembaga-lembaga keuangan dunia seperti WTO, PBB, IMF, ADB, dan Bank Dunia tidak ubahnya seperti lintah darat.

Dan Indonesia punya tantangan berat di masa depan  yaitu sistem ekonomi  pasar bebas tanpa batas dan sekat antara negara, benua, dan dunia, dan Indonesia terlibat dan menjadi bagian  di dalamnya. Tetapi, dengan adanya pasar bebas apakah dapat mensejahterakan semua masyarakat atau hanya segelintir orang saja. Karena jika kita bicara pasar bebas berarti bicara ekonomi makro yang kadang pemerintah kita melupakan sektor ekonomi mikro (UMKM), dan kita bisa melihat akibat dari ketidaksiapan pemerintah menghadapi  pasar bebas dengan Cina, di mana banyak usaha kecil menengah yang gulung tikar akibat tidak mampu bersaing dengan produk Cina yang lebih murah.

Hari ini Cina adalah Raja perdagangan dunia 2013 menyalip Amerika Serikat. Total Ekspor dan Impor Cina mencapai 4,16 triliun dolar AS atau senilai Rp 41.600 triliun dengan surplus perdagangan 259, 75 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.597, 5 triliun. Sungguh Fantastis jika dibandingkan dengan perdagangan Indonesia 2013 mengalami defisit 4,06 miliar dolar AS.

Tahun 2015 merupakan pasar bebas antar Negara ASEAN atau terkenal “ ASEAN Community 2015”. Tentunya Indonesia dengan segala potensi SDM dan SDA-nya harus menjadi pemimpin dalam wadah baru ini dengan cara mempersiapkan segala infrastuktur, system atau kebijakan ekonomi dan kesiapan pelaku usaha baik makro maupun mikro.

Menurut penelity Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, Indonesia memiliki empat tantangan dalam menghadapi ASEAN Community 2015 sadalah sebagai berikut: Pertama, melebarnya deficit perdagangan barang dengan ASEAN. Kedua, deficit perdagangan jasa yang konsisiten sejak 2001, terutama Indonesia. Ketiga, Isu tenaga kerja. Indonesia akan kebanjiran tenaga kerja luar negeri yang berpendidikan karena tingkat pendidikan Indonesia rendah. Sementara 80 persen tenaga kerja Malaysia, Singapura, dan Filipina berpendidikan SMA dan perguruan tinggi. Keempat, isu investasi. Pemerintah harus mendorong investor untuk menginvestasikan modalnya untk sektor hulu agar ada nilai tambah. Dan pemerintah sudah menjalankan kebijakan yang sangat bagus yaitu kebijakan pelarangan ekspor pertambangan dan migas mentah.

Dalam kebijakan apapun yang diambil pemerintah dalam mengahadapi tantangan pasar bebas, akan ada pihak yang diuntngkan dan dirugikan. Pihak yang diuntungkan adalah para pemilik modal dan yang dirugikan tentu adalah masyarakat miskin. Dalam kondisi seperti inilah peran etika ekonomi sangat dibutuhkan agar terjadi keseimbangan antara si kaya dan si miskin. Tapi sekali lagi peran pemerintah sangat menentukan arah ekonomi Indonesia.

Kita tidak ingin mendengar lagi kata-kata penghinaan terhadap bangsa ini seperti yang pernah dikatakan Helfferich terhadap indonesia “ Eine Nation Von Koeli Und Koeli Unter Den Nationen (sebagai bangsa kuli dan kuli-kuli dalam dalam satu bangsa). Dan “….Rakyat yang menjadi pemilik bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh sangat minimal”. (Kwik Kian Gie, 2003). Masa depan adalah milik semua rakyat Indonesia.

Penulis adalah Mahasiswa Manajemen FEB Universitas Peradaban Bumiayu  (Ketua Hima  Manajemen dan Aktivis HMI) tinggal di Desa Jemasih RT 06 RW 04, Kec. Ketanggungan, Brebes

0 komentar :

Posting Komentar